Yayasan Musik Gereja Indonesia

Yamuger Indonesia

Indonesian Institute For Sacred Music

ARTIKEL

LAGU-LAGU KERONCONG DALAM IBADAH GEREJA

Yang bisa menjadi masalah dengan musik di dalam ibadah gereja bukanlah alat musiknya, bukan juga gaya musiknya, melainkan orang yang memainkan/menggunakannnya. Kita selalu perlu mengetahui apa tujuan orang itu. Jika tujuannya benar-benar melayani jemaat dalam hal nyanyian dan benar-benar menghargai makna-makna ibadah, maka ada harapan. Kalau yang bersangkutan rendah hati, ia pasti mau terus belajar dan menerima nasihat, bahkan kritik. Yang perlu disadari oleh petugas liturgi (termasuk para pemusik dan penyanyi) ialah bahwa ibadah itu bukan tempat pertunjukan, melainkan tempat ekspresi iman. Tentunya para pemusik liturgi perlu menyadari dan menghayati itu.

 

Musik keroncong agak sensitif dalam hubungan ini, karena karakternya tidak dengan sendirinya langsung cocok untuk suasana ibadah. Mungkin orang lain, baik anggota gereja maupun penganut agama lain, akan terheran-heran melihat dan mendengar orang Kristen memakai musik keroncong di dalam gereja. Justru oleh karena itu kita perlu hati-hati dan berusaha agar cara bermusik kita meyakinkan dan mendukung apa yang ingin kita ekspresikan.

 

Seusai festival keroncong gerejawi pada bulan Oktober 2011 yang lalu, saya bertanya kepada para hadirin yang hadir dalam acara tersebut: "Apakah musik keroncong bisa dipakai untuk doa?" Semua menjawab:"Bisa!"...maka saya katakan:.."Okay! Buktikan!". Baiklah kita mencoba membuktikan bahwa musik keroncong benar-benar cocok untuk mendukung semua aspek dari suasana ibadah gereja! Misalnya untuk mendaraskan Mazmur. Itu tidak bisa dengan empat atau tiga ketukan. Yang diperlukan hanyalah akord-akord pada saat-saat tertentu. Saya dapat membayangkan suatu ibadah yang seluruhnya didukung oleh orkes keroncong, termasuk pendarasan Mazmur.

 

Yang biasanya meriah ialah nyanyian pembukaan dan nyanyian penutupan, juga nyanyian pada saat pemberian persembahan jemaat dikumpulkan. Nyanyian lainnya kadang-kadang meriah, tetapi bisa juga penuh khidmat, atau bersifat renungan, atau doa, atau pengakuan, bahkan ratapan. Nah, di sinilah harus kita buktikan bahwa kita mampu mengembangkan musik keroncong sedemikian rupa, sehingga betul-betul dapat disesuaikan dengan setiap unsur liturgi. Untuk itu kita memerlukan orang yang dengan kreatifnya mampu mengaransir lagu-lagu dalam pelbagai suasana yang dijauhkan dari kesan pertunjukkan/show. Kita ingat apa yang sering tertulis di atas tempat menyimpan gulungan Alkitab dalam sinagoge Yahudi: "Ketahuilah, di hadapan Siapa engkau berdiri."

 

H.A. van Dop